Ahmad Anhar SyahputraProgram Study of the U.S Institue on Global Environment Issue 2013
United State of America
Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin. Manusia bisa melakukan apapun dengan usaha dan kerja keras. Menggantung cita-cita dan harapan dan kelak disuatu masa nanti semua keinginan tergapai. Begitu juga dengan aku, siapa yang menyangka kerja keras selama ini membuahkan hasil yang indah pada waktunya. Semua yang aku tulis merupakan warna kehidupanku yang aku torehkan di kanvas kosong. Setiap warna mewakili betapa indahnya disaat aku merasakan jatuh dan bangun untuk menggapai semua keinginan yang aku rangkai setiap malam ketika hendak tidur. Semua mimpi yang aku ukir bukanlah perkara mudah. Jatuh dan bangun untuk menyusun keindahan hidup telah menjadi asam dan garam kehidupan.
Bagiku, Sekali layar berkembang pantang surut mundur ke belakang. Aku yakin jika semua dilakukan dengan sabar dan penuh perasaan Insya Allah, Tuhan pasti membentang hamparan berkah untuk menapaki semua kesuksesan.
Panggil saya ini Anhar, pemuda melayu dari Provinsi Riau. Berasal dari salah satu Kabupaten yang jauh jaraknya dari Ibukota Provinsi. Saya dibesarkan dari keluarga yang jauh dari kata sederhana, Abah saya seorang buruh montir dan untuk mencukupi kebutuhan kami, emak juga bekerja berjualan dikantin Sekolah Dasar. Memang bisa ditebak, kebanyakan anak-anak exchange adalah keluarga kurang mampu. Entahlah, mengapa bisa begitu! mungkin orang miskin seperti saya mempunyai segudang mimpi dengan akses materil terbatas, sehingga berusaha melawan batas-batas tersebut.
Saya kuliah di Universitas Riau lulus dari SNMPTN dengan SPP kurang dari tujuh ratus ribu. Dulunya, emak dan abah tidak memberi ijin saya melanjutkan ke pendidikan tinggi, karena adik-adik saya masih banyak yang mau dibiayai. Emak bilang sabar dulu, lebih baik kerja dan bisa bantu adik-adik. Saya memang orang yang keras kepala, tidak mau mendengar nasehat orang tua karena saya yakin miskin bukan berarti bodoh, miskin bukan berarti tidak terdidik dan miskin bukan berarti rendahan. Dengan inisiatif yang kuat, saya merantau ke Ibukota, Pekanbaru. Bekerja sebagai salesman dari rumah ke rumah membuat saya tabah menelan indahnya kehidupan, berjuang untuk mendapatkan secuil berkah Allah untuk menyambung kehidupan hari esok.
Setahun lebih saya berprofesi menjadi salesman, diawal tahun 2009 saya menekadkan diri untuk meneruskan jenjang pendidikan di perguruan tinggi negeri. Awalnya, saya tidak terima kodrat karena lulus program pilihan yaitu Pertanian dan akhirnya saya mengerti dikemudian hari kenapa Allah memberikan saya ilmu pertanian. Allah itu Tuhan yang keren untuk semua perencanaan.
Saat itu pukul sepuluh pagi, jadwal kelasku untuk persiapan TOEFL kampus di Balai Bahasa, namun pagi ini kami tidak belajar seperti hari sebelumnya. Tim lembaga TOEFL membawa acara spesial buat kami, mendatangkan mahasiswa yang telah mengukir prestasi di kancah Internasional. Mereka bercerita betapa indahnya belajar di luar negeri. Dari situ aku mulai berfikir untuk menjadi seperti mereka, bisa keluar negeri dibiaya pemerintah. Apakah mungkin? Aku sempat bercerita kepada emak tentang mimpiku terbang keluar negeri. “Bukannya emak melarang engkau nak ikut kegiatan seperti itu, tapi pikirkanlah abahmu juga susah cari duit, mau makan saja terkadang berhutang kesana-kemari” Emak tidak mendukung sama sekali, karena emak berfikir hanya orang yang ber-uang saja yang bisa menikmati perjalanan jauh.
Perkataan emak membuat aku down, emak tidak berharap terlalu besar dari kehidupan ini yang bisa aku pahami dari pemikiran emak adalah kerja, hidup sederhana dan bisa membantu adik-adikku melanjutkan pendidikan. Tetapi, semua itu berubah drastis ketika saya berhak menjelajahi tiga Negara bagian di Negara adikuasa, Paman Sam.
“Ih, ini uda jam berapaan ya?” gelisahku diantara hiruk pikuk ramainya manusia yang sedang mengantri di sebuah bangunan megah yang kebanyakan diisi oleh para turis asing.
“Sabar Anhar, dua jam lagi” Jawab Aken, mengenakan jilbab merah sambil meriksa beberapa dokumen.
Aku tersenyum, kegelisahan yang hampir tengah malam membuatku semakin risau tak karuan. Kulihat Andrizal dan Ridha asik mengobrol dengan dua orang wanita dari Belanda. Mereka sedang mengasah Bahasa Inggris sebelum sampai di Negara idaman. Yang aku dengar, dua turis ini baru saja menjelajahi pulau Sulawesi, mereka sangat antusias sekali menceritakan pengalaman menarik selama di Ambon. Ya, Ambon Manise setiap orang yang berkunjung kesana pasti mendapatkan kesan yang tidak terlupakan. Andirzal, Aken dan Ridha adalah teman baruku yang baru kenal beberapa minggu lalu melalui email. Masih ada tiga orang teman baruku dari Surabaya dan dua orang dari Makassar. Mereka semua adalah teman-teman yang sangat luar biasa.
Ruangan yang besar seperti lapangan sepak bola ini makin ramai saja, aku termenung sambil memegang roti Bobo yang aku beli sebelum berangkat kemari. Dalam lamunan itu, aku terjun bebas mengulang kembali semua memori ingatanku. Hp berdering untuk sekian kalinya, meraung memanggil sang pemilik untuk dijawab. Terakhir kali terdengar suara SMS masuk. Saya mengabaikannya untuk jangka waktu yang lama, karena disaat itu juga sedang diadakan musyawarah dengan petinggi desa untuk mempresentasikan program kami sebagai anak KKN. Dua jam lebih acara tersebut selesai, dan aku membuka hape yang sudah terisi penuh batrainya.
"Assalamualaikum, ini Shita dari U.S Embassy, kapanya bisa saya hubungi. Maaf menganggu."
“Hah?” keningku mengerut, saya berfikir ada urusan apa pihak kedutaan Amerika. Sepintas itu juga saya berfikir pernah mengirimkan aplikasi program SUSI 2013. Saya tersenyum, mungkin mereka tertawa membaca aplikasi saya, soalnya aplikasi saya pernah dipulangkan lagi oleh pihak panitia karena lain ditanya lain pula dijawab, bahkan mereka menyarankan memakai google translate kalau tidak mengerti maksud dari pertayaan yang berada di form registrasi.
“Akh,… aku malu” gumamku dalam hati. Sudahlah, mungkin mereka mau menasehati aku agar mengikuti program yang sama ditahun depan. Aku mengabaikan pesan tersebut, bagiku malu sekali jika ditelpon dan diberi nasehat lagi. Aku sudah berlapang dada, toh tujuan aku mengikuti program SUSI adalah ajang coba-coba dan hanya mengetahui tingkat Bahasa Inggrisku sejauh mana dalam penulisan essay lepas. Beberapa menit kemudian, hape aku berdering lagi dari nomor yang sama. Aku menarik nafas panjang-panjang, dan..
“Hallo, Assalamualaikum” nada datarku
“Walaikum salam, benar ini Ahmad?” Seorang wanita bersuara lembut nyaris hilang suaranya jika diterpa angin.
“Benar, nama saya Ahmad Anhar Syahputra” jawabku sendu.
“Ahmad,..”
“Hm.. Anhar mbak”
“Oh iya, Anhar.. saya Shita bekerja di kedutaan besar Amerika di Jakarta saya mau mengucapkan selamat bahwa kamu lulus program Study of the U.S Institute di program Global Environment Issues”
“APA?????”
Jantungku berdetang lambat, terasa waktu terputus dari siklusnya. Nafasku menghirup udara tidak beraturan, pupil mata mengecil, beberapa detik kemudian aliran darah terasa mengalir menderu di otak belakang, bahkan jantungku tadi mulai menunjukan reaksi tidak normal untuk memompa darah. Aku terdiam, seperti paku yang siap ditancapkan, badanku menggigil semuanya terasa aneh sekali, ini diluar ekspetasiku.
“Hallooo… Hallooooo” Suara mbak Shita mengaum merdu.
Aku menunjukan raut wajah mendung, tak sadar air mata keluar begitu saja membasahi seluruh pipiku. Suara isak tangisku yang tidak sadar seperti anak SD kehilangan mainannya. Aku tersandar di dinding kamar, badanku mulai lemas, kaki ini tidak bisa menompang berat badan lagi. Mbak Shita mulai mengerti suasana hatiku, dia diam sejenak menikmati tangisanku dibalik jaringan yang jaraknya ratusan kilometer.
“Mbaak, aaaa….aapa benar?” Kalimatku menahan tangisan.
“Iya, Anhar. Selamat ya. Kamu salah satu delegasi Indonesia.”
“Bukan bohong, kan? Atau penipuan?” Pasrahku.
“Bukan, kita lagi mengurus semua dokumen kamu dan pastikan Passport kamu sudah ada. Lusa saya kirimkan Invitation letter-nya dari Amerika.” Mbak Shita menjelaskannya dengan terperinci.
“Mbak, terima kasih ya, saya kira saya tidak lulus, karena aplikasi saya pernah dipulangkan lagi dan disuruh diperbaiki” tangisanku semakin kencang.
“Ini Rezeky kamu, sudah jangan menangis lagi. Mungkin kabar ini bisa kamu sampaikan kepada orang tua kamu.”
“Iya, mbak. Terima kasih infonya. Saya masih tidak percaya semua ini, seperti mimpi mau berkunjung di Amerika” aku tersenyum.
“Sekali lagi selamat, ya. Informasi akan diberi melalui email, jadi tetap stand by terus email-nya. Permisi dulu, selamat siang Anhar. Wassalamualaikum.”
“Wa..walaikum salam” aku termenung. Tanganku bergetar menekan tombol-tombol angka untuk menelpon abah di rumah.
Lamunan itu terpecah disaat Andrizal memukul bahuku untuk mengantri check in di counter Chatay Airlines. Semuanya masih berkesan sekali kenangan indah tersebut, mendapatkan kesempatan yang luar biasa, karena ratusan aplikasi yang masuk hanya tujuh orang saja yang berkesempatan untuk mengikuti program ini, setidaknya begitulah yang dikatan Bang Heru, staff kedutaan Amerika yang memberikan kami arahan sebelum berangkat ke Amerika.
Study of the U.S Institue for Global Environment Issue Program. Merupakan program yang didanai penuh oleh pemerintah Amerika Serikat tujuannya adalah untuk belajar tentang Negara Amerika dalam manajemen isu lingkungan terhadap semua aspek kehidupan, program ini di koordinasi oleh East West Center di tiga Negara bagian Amerika yaitu, Hawaii, Colorado dan Washington DC selama 5 minggu. Ini adalah pengalaman pertama kali menaiki pesawat sampai 2 kali transit dari Jakarta – Hongkong – Tokyo dan berlabuh di Hawaii.
Hawaii? “Akh,..” aku berdecit sedikit tatkala aku menaiki mini bus menuju apartemen di kompleks universitas Hawaii. siapa yang tidak mengenal pulau ini yang memberikan sejuta eksotisnya untuk para pelancong dari berbagai Negara. Negeri yang memiliki sudut ruang pantai yang indah dimana-mana, memang sudah pantas bahwa Hawaii dijuluki The Rainbow of Island. Aku terkesima untuk sekian kalinya, berdiri di depan pantai Waikiki Beach sambil mendengarkan lagi it’s beautiful day by Michael Buble, lagunya berulang-ulang kali kuputar melalui Walkman. Deburan air laut membujuk kakiku untuk bermesraan dengannya. Kupejamkan mata ini, menikmati indahnya kuasa Tuhan yang telah membentuk bumi-Nya dengan sejuta keindahan, aku sangat bahagia sekali bahkan ungkapan seribu kata tidak bisa aku ucapkan untuk mengisi ruang hatiku.
“EMAAAAAAAAAK, ABANG DI HAWAAAAII…….” Teriakku sekuat-kuatnya, melampiaskan emosional kegembiraan, lagi-lagi aku tidak sadar air mataku menyatu dengan air laut. Siapa yang menyangka aku berdiri disini, menikmati matahari terbenam. Aku rindu emak, lagi apa emak disana? Pasti satu kampung sudah heboh bahwa anak tukang jualan nasi goreng sampai ke Amerika, pasti abah selalu bercerita tentang aku ketika ada pelanggan yang memperbaiki sepeda motor di bengkel depan rumah. Aku tersenyum, mengusap air mata kegembiraan.
Dua minggu lebih di Hawaii bukanlah waktu yang mudah untuk dijalani, culture shock? Itu sudah pasti, aku harus terbiasa makanan pengganti nasi, seperti roti salad dan soup yang dicampuri dengan berbagai jenis rempah-rempah yang tidak aku kenal. Bukan hanya itu, kedisplinan orang Amerika mengajariku banyak hal untuk bertindak seperti dilarang menyebrang sembarangan walaupun tidak diawasi oeh kamera cctv, mengantri panjang tanpa harus mengeluh untuk mengambil makanan di kantin, tidak duduk di tempat duduk priority seat di bus umum dan masuk kuliah tanpa terlambat. Hal-hal yang kecil yang biasa aku langgar saat di Indonesia.
Kami dari Delegasi beberapa Negara ASEAN dan Kepulauan Pasifik belajar penuh di main office East Wes Center (EWC) organisasi yang sudah professional untuk membentuk karakter manusia dengan program-program pertukaran pelajar, magang dan lain sebagainya. Belajar tentang regulasi pemerintah Amerika untuk membangun negaranya dengan konsep lingkungan, kami diberi beberapa kelompok yang sewaktu-waktu kelompok tersebut bisa berubah sesuai dengan tema studi kasus yang kami pelajari. Banyak hal yang bisa aku pelajari dari sana, semuanya membuka wawasan dan ilmu menejemen lingkungan yang bisa aku terapkan di lingkungan kecilku. Begitulah seterusnya, belajar bisa sampai jam Sembilan malam bahkan tidak tidur untuk mendapatkan hasil yang baik untuk dipesentasikan pada dosen-dosen yang ahli dibidangnya.
Walaupun proses belajar mengajar sangat padat, panitia juga memberikan kami edutrip dibeberapa tempat yang sangat bagus sekali untuk di kunjungi seperti Museum Pearl Harbour yang menyimpan sejuta sejarah, Hanauma Bay dengan koral lautnya begitu indah, menikmati matahari tenggelam di Waikiki beach. Pengalaman yang sangat membuat saya berkesan adalah mengunjungi wisata Kualoa Ranch, aku terkejut ternyata disini bukan menjadi wisata alam saja, tetapi menjadi hotspot pembuatan film yang tersohor seperti Jurassic Park Film Lost dan Pearl Harbour yang sering kita tonton di tv. Luar biasa sekali tempatnya, sangat indah. Bentangan savana yang terhampar seperti taman firdaus dikelilingi gunung-gunung yang dibaluti rumput dan lumut basah. Tidak ada pohon sawit seperti tempat tinggal saya. Subhanallah, beginilah Allah menciptakan bumiNya dan beginilah penduduk Amerika merawat kekayaan alamnya.
Program Amerika tidak bakalan lengkap jika tidak berbaur dengan host Family atau keluarga angkat. Aku kaget ketika aku mendapatkan keluarga dari keturunan Yahudi.
“Apa? Yahudi?” benakku berputar terus tidak ingin berbaur dengan mereka. Jelaslah, ini jadi tabuh bagiku. Coordinator host family bercerita banyak tentang keluarga baruku bahwa mereka adalah pecinta Indonesia, mereka telah mengelilingi Indonesia bahkan mereka sudah sampai di kota Pekanbaru. Sumringahku menepis perbedaan keyakinan itu, aku ingin mengetahui apa benar mereka memang cinta Indonesia.
Tepat sekali, nuansa rumah dan semua dekorasi rumah ala Indonesia. Aku merinding sekali ketika mereka bercerita mengirim property rumah seperti angklung, meja ukir dan pintu rumah bermotif Bali dibawa dari Indonesia. Mereka tidak henti-hentinya bercerita tentang Indonesia dan membuka album kenangan ketika mereka masih muda, dibagian foto-foto tersebut mereka menikmati perjalanan di Kalimantan, Bali, Jakarta dan beberapa daerah Sulawesi yang tidak pernah aku kenal sama sekali. Aku juga diajak untuk melihat perayaan sabat day umat Yahudi, orangtua angkatku bangga sekali memperkenalkan aku dengan komunitas Yahudi Hawaii, mereka sangat ramah sekali dengan aku. Seorang Rabi mendatangi aku dan memberikan aku segelas air anggur merah.
“Sorry, I am Moeslim” tolakku halus ketika Rabi menuangkan air anggur yang aku kira adalah sejenis bir.
“Don’t worry, this is alcohol free. We are not drink Alcohol, it is Halal and we don’t eat haram too” senyum Rabi tersebut.
Mereka adalah Yahudi sejati yang tidak memakan makanan haram seperti umat muslim. Hampir semua makanan dimeja adalah buah dan sayur dan hanya beberapa potong daging ayam. Aku banyak belajar dari mereka, perbedaan bukan harus dijauhi tetapi perbedaan itu yang memberikan banyak pelajaran hidup bahwa di dunia ini beragam etnis yang masih peduli dengan etnis lainnya.
Rasanya ingin menangis meninggalkan Hawaii, aku tidak tahu kapan datang kemari. Sejuta pengalaman yang tidak bisa aku lupakan begitu saja di Negara bagian ini.
Inilah saatnya kami terbang ke Negara bagian berikutnya Colorado, Negara yang penuh ruang terbuka dan dikelilingi dengan pegunungan Rocky Mountain. Tinggal di kompleks Universitas Colorado membuat aku seperti mahasiswa seutuhnya, bangunannya begitu indah dan classic kemana-mana hanya diakses berjalan kaki dan memakai bersepeda jarang yang memakai sepeda motor atau mobil. Di sini, pejalan kaki lebih dihormati, pemerintah Colorado membuat jalan khusus bagi pedestrian yang tidak boleh dilintasi oleh sepeda. Colorado mempunyai ambisius menjadi Negara bagian yang sukses dengan konsep go green, ini terbukti dimana mahasiswanya juga bekerja separuh waktu untuk mendaur ulang sampah yang akan dikirim ke Negara-Negara yang telah direkomendasi untuk mengolah sampah. Sekali lagi sampah menjadi pendapatan bagi mereka, hal-hal ini yang kami pelajari di Colorado tentang menejemen sampah, bangunan ramah lingkungan, solar panel dan pertanian organik yang kami jumpai di farmer market.
Kesan selanjutnya yang aku dapatkan adalah mengunjungi satu dari beberapa bagian gunung Rocky Mountain, memang disana lagi musim panas tetapi tidak di top mountainnya, dengan suhu 5 derajat celcius saya cukup puas memegang salju dan bermain ria dengan teman-teman lainnya. Indah sekali pemandangan dari Top Mountain, melihat lekukan pegunungan lainnya yang dibaluti oleh salju tebal dan hamparan hutan pinus. Selama ini, saya hanya menyaksikan Rocky Mountain melalui channel National geography dan sekarang ini nyata di hadapan saya.
Ku akui pindah dari satu kota besar ke kota besar lainnya memanglah terasa letih walaupun transportasi memakai pesawat terbang. Lelahnya itu adalah bongkar dan muat barang-barang harian di koper, semakin banyak tempat yang dikunjungi semakin banyak buku yang diberikan dan tidak mau buku-buku tersebut ditinggalkan. Semuanya adalah ilmu dan sangat berhagra sekali nilainya. Tak jarang koper aku sudah bengkak dan overload bagasi.
Kota terakhir kami kunjungi adalah Washington DC, kota yang sangat glamour dan tertata rapi bangunanya. Para planologi telah menata Washington menjadi ibukota tanpa bosan mengelilinginya. Di Washington, jadwal kami tidaklah sepadat sebelumnya. Disini kami lebih banyak waktu luang untuk berjalan-jalan sebelum kegiatan penutup, aku tidak mau meninggalkan kesempata ini, rasa capek, lelah dan lesu kuabaikan begitu saja. Aku harus lebih semangat untuk mengelilingi kota besar ini. Di Washington DC, untuk berkeliling sangatlah mudah karena disana ada public bicycle yang bisa di rental seharian, aku memulai langkah semangat.
Tujuan pertamaku adalah kediaman Obama yang jaraknya tidak jauh dari penginapan kami. Masya Allah, melihat White House secara dekat membuat mata ini tidak terbendung untuk menitikan air mata untuk sekian dan sekian kalinya. Memandang white house yang tidak jemu-jemu selama dua jam lebih berdiri seperti patung, setiap momen tidak ingin saya lewatkan. Beberapa orang heran melihataku yang tahan berdiri selama dua jam. Biarlah, masa bodoh, kalau polisi menegurku atau mencurigaiku tinggal aku keluarkan selembar surat undangan resmi dari Amerika, saya ini adalah delegasi yang artinya setengah diplomatik. Syukurnya hal-hal seperti itu tidak terjadi selama di sana. Dua jam menikmati white house belum berarti apa-apa bagiku, ingin rasanya lebih lama lagi memeluk pagar white hosue yang menjulang tinggi dan bercerita perjalanan hidupku untuk melihatnya.
Lima minggu dan tiga Negara bagian dikunjungi adalah pengalaman saya untuk saya ceritakan kepada pemuda Indonesia. Saya tidak membanggakan Negara lain dan mengikis rasa nasionalis saya. Bahkan, selama disana saya belajar banyak bagaimana mencintai dan menghargai Bangsa saya. Program diberikan bukan untuk membanggakan Negara pemberi program, tetapi mengajarkan kepada penerima program beginilah cara mereka untuk menghargai Negara dan bangsa itu sendiri. Bisa ditiru dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Itulah gunanya program dan program bukanlah suatu trend yang hanya berjalan di tempat-tempat yang indah. Tujuan program adalah membentuk karakterik bangsa dari pengalaman Negara lain untuk menjadi seorang yang kritis untuk menyikapi masalah-masalah internal dari Negara sendiri, tidak apatis dan tidak arogansi.
Jika bersungguh-sungguh dia yang akan dapat. Janganlah putus asa untuk meraih kesuksesan, pahit dan asamnya kehidupan dalam menjalani sebuah proses adalah kekuatan kita untuk tetap tegar. Mengambil semua pelajaran dari kegagalan dan menjadikan semua keberhasilan sebagai intropeksi diri agar kita tidak puas dengan satu kesuksesan. Allah adalah Tuhan yang mengatur semua perencanaan dan manusia harus berusaha untuk meraih perencanaan tersebut. Saya teringat dengan orang tua angkat saya yang mengatakan
“Tulislah semua keinginan dan sinergikan dengan sang Malaikatmu yaitu Ibu. Tarik hubungan itu antara vertikal dan harizontal, Biarkan jasmanimu berusaha, Biarkan rohanimu beristiqomah dan biarkan sang Khalik yang Bekerja."
United State of America
Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin. Manusia bisa melakukan apapun dengan usaha dan kerja keras. Menggantung cita-cita dan harapan dan kelak disuatu masa nanti semua keinginan tergapai. Begitu juga dengan aku, siapa yang menyangka kerja keras selama ini membuahkan hasil yang indah pada waktunya. Semua yang aku tulis merupakan warna kehidupanku yang aku torehkan di kanvas kosong. Setiap warna mewakili betapa indahnya disaat aku merasakan jatuh dan bangun untuk menggapai semua keinginan yang aku rangkai setiap malam ketika hendak tidur. Semua mimpi yang aku ukir bukanlah perkara mudah. Jatuh dan bangun untuk menyusun keindahan hidup telah menjadi asam dan garam kehidupan.
Bagiku, Sekali layar berkembang pantang surut mundur ke belakang. Aku yakin jika semua dilakukan dengan sabar dan penuh perasaan Insya Allah, Tuhan pasti membentang hamparan berkah untuk menapaki semua kesuksesan.
Panggil saya ini Anhar, pemuda melayu dari Provinsi Riau. Berasal dari salah satu Kabupaten yang jauh jaraknya dari Ibukota Provinsi. Saya dibesarkan dari keluarga yang jauh dari kata sederhana, Abah saya seorang buruh montir dan untuk mencukupi kebutuhan kami, emak juga bekerja berjualan dikantin Sekolah Dasar. Memang bisa ditebak, kebanyakan anak-anak exchange adalah keluarga kurang mampu. Entahlah, mengapa bisa begitu! mungkin orang miskin seperti saya mempunyai segudang mimpi dengan akses materil terbatas, sehingga berusaha melawan batas-batas tersebut.
Saya kuliah di Universitas Riau lulus dari SNMPTN dengan SPP kurang dari tujuh ratus ribu. Dulunya, emak dan abah tidak memberi ijin saya melanjutkan ke pendidikan tinggi, karena adik-adik saya masih banyak yang mau dibiayai. Emak bilang sabar dulu, lebih baik kerja dan bisa bantu adik-adik. Saya memang orang yang keras kepala, tidak mau mendengar nasehat orang tua karena saya yakin miskin bukan berarti bodoh, miskin bukan berarti tidak terdidik dan miskin bukan berarti rendahan. Dengan inisiatif yang kuat, saya merantau ke Ibukota, Pekanbaru. Bekerja sebagai salesman dari rumah ke rumah membuat saya tabah menelan indahnya kehidupan, berjuang untuk mendapatkan secuil berkah Allah untuk menyambung kehidupan hari esok.
Setahun lebih saya berprofesi menjadi salesman, diawal tahun 2009 saya menekadkan diri untuk meneruskan jenjang pendidikan di perguruan tinggi negeri. Awalnya, saya tidak terima kodrat karena lulus program pilihan yaitu Pertanian dan akhirnya saya mengerti dikemudian hari kenapa Allah memberikan saya ilmu pertanian. Allah itu Tuhan yang keren untuk semua perencanaan.
Saat itu pukul sepuluh pagi, jadwal kelasku untuk persiapan TOEFL kampus di Balai Bahasa, namun pagi ini kami tidak belajar seperti hari sebelumnya. Tim lembaga TOEFL membawa acara spesial buat kami, mendatangkan mahasiswa yang telah mengukir prestasi di kancah Internasional. Mereka bercerita betapa indahnya belajar di luar negeri. Dari situ aku mulai berfikir untuk menjadi seperti mereka, bisa keluar negeri dibiaya pemerintah. Apakah mungkin? Aku sempat bercerita kepada emak tentang mimpiku terbang keluar negeri. “Bukannya emak melarang engkau nak ikut kegiatan seperti itu, tapi pikirkanlah abahmu juga susah cari duit, mau makan saja terkadang berhutang kesana-kemari” Emak tidak mendukung sama sekali, karena emak berfikir hanya orang yang ber-uang saja yang bisa menikmati perjalanan jauh.
Perkataan emak membuat aku down, emak tidak berharap terlalu besar dari kehidupan ini yang bisa aku pahami dari pemikiran emak adalah kerja, hidup sederhana dan bisa membantu adik-adikku melanjutkan pendidikan. Tetapi, semua itu berubah drastis ketika saya berhak menjelajahi tiga Negara bagian di Negara adikuasa, Paman Sam.
“Ih, ini uda jam berapaan ya?” gelisahku diantara hiruk pikuk ramainya manusia yang sedang mengantri di sebuah bangunan megah yang kebanyakan diisi oleh para turis asing.
“Sabar Anhar, dua jam lagi” Jawab Aken, mengenakan jilbab merah sambil meriksa beberapa dokumen.
Aku tersenyum, kegelisahan yang hampir tengah malam membuatku semakin risau tak karuan. Kulihat Andrizal dan Ridha asik mengobrol dengan dua orang wanita dari Belanda. Mereka sedang mengasah Bahasa Inggris sebelum sampai di Negara idaman. Yang aku dengar, dua turis ini baru saja menjelajahi pulau Sulawesi, mereka sangat antusias sekali menceritakan pengalaman menarik selama di Ambon. Ya, Ambon Manise setiap orang yang berkunjung kesana pasti mendapatkan kesan yang tidak terlupakan. Andirzal, Aken dan Ridha adalah teman baruku yang baru kenal beberapa minggu lalu melalui email. Masih ada tiga orang teman baruku dari Surabaya dan dua orang dari Makassar. Mereka semua adalah teman-teman yang sangat luar biasa.
Ruangan yang besar seperti lapangan sepak bola ini makin ramai saja, aku termenung sambil memegang roti Bobo yang aku beli sebelum berangkat kemari. Dalam lamunan itu, aku terjun bebas mengulang kembali semua memori ingatanku. Hp berdering untuk sekian kalinya, meraung memanggil sang pemilik untuk dijawab. Terakhir kali terdengar suara SMS masuk. Saya mengabaikannya untuk jangka waktu yang lama, karena disaat itu juga sedang diadakan musyawarah dengan petinggi desa untuk mempresentasikan program kami sebagai anak KKN. Dua jam lebih acara tersebut selesai, dan aku membuka hape yang sudah terisi penuh batrainya.
"Assalamualaikum, ini Shita dari U.S Embassy, kapanya bisa saya hubungi. Maaf menganggu."
“Hah?” keningku mengerut, saya berfikir ada urusan apa pihak kedutaan Amerika. Sepintas itu juga saya berfikir pernah mengirimkan aplikasi program SUSI 2013. Saya tersenyum, mungkin mereka tertawa membaca aplikasi saya, soalnya aplikasi saya pernah dipulangkan lagi oleh pihak panitia karena lain ditanya lain pula dijawab, bahkan mereka menyarankan memakai google translate kalau tidak mengerti maksud dari pertayaan yang berada di form registrasi.
“Akh,… aku malu” gumamku dalam hati. Sudahlah, mungkin mereka mau menasehati aku agar mengikuti program yang sama ditahun depan. Aku mengabaikan pesan tersebut, bagiku malu sekali jika ditelpon dan diberi nasehat lagi. Aku sudah berlapang dada, toh tujuan aku mengikuti program SUSI adalah ajang coba-coba dan hanya mengetahui tingkat Bahasa Inggrisku sejauh mana dalam penulisan essay lepas. Beberapa menit kemudian, hape aku berdering lagi dari nomor yang sama. Aku menarik nafas panjang-panjang, dan..
“Hallo, Assalamualaikum” nada datarku
“Walaikum salam, benar ini Ahmad?” Seorang wanita bersuara lembut nyaris hilang suaranya jika diterpa angin.
“Benar, nama saya Ahmad Anhar Syahputra” jawabku sendu.
“Ahmad,..”
“Hm.. Anhar mbak”
“Oh iya, Anhar.. saya Shita bekerja di kedutaan besar Amerika di Jakarta saya mau mengucapkan selamat bahwa kamu lulus program Study of the U.S Institute di program Global Environment Issues”
“APA?????”
Jantungku berdetang lambat, terasa waktu terputus dari siklusnya. Nafasku menghirup udara tidak beraturan, pupil mata mengecil, beberapa detik kemudian aliran darah terasa mengalir menderu di otak belakang, bahkan jantungku tadi mulai menunjukan reaksi tidak normal untuk memompa darah. Aku terdiam, seperti paku yang siap ditancapkan, badanku menggigil semuanya terasa aneh sekali, ini diluar ekspetasiku.
“Hallooo… Hallooooo” Suara mbak Shita mengaum merdu.
Aku menunjukan raut wajah mendung, tak sadar air mata keluar begitu saja membasahi seluruh pipiku. Suara isak tangisku yang tidak sadar seperti anak SD kehilangan mainannya. Aku tersandar di dinding kamar, badanku mulai lemas, kaki ini tidak bisa menompang berat badan lagi. Mbak Shita mulai mengerti suasana hatiku, dia diam sejenak menikmati tangisanku dibalik jaringan yang jaraknya ratusan kilometer.
“Mbaak, aaaa….aapa benar?” Kalimatku menahan tangisan.
“Iya, Anhar. Selamat ya. Kamu salah satu delegasi Indonesia.”
“Bukan bohong, kan? Atau penipuan?” Pasrahku.
“Bukan, kita lagi mengurus semua dokumen kamu dan pastikan Passport kamu sudah ada. Lusa saya kirimkan Invitation letter-nya dari Amerika.” Mbak Shita menjelaskannya dengan terperinci.
“Mbak, terima kasih ya, saya kira saya tidak lulus, karena aplikasi saya pernah dipulangkan lagi dan disuruh diperbaiki” tangisanku semakin kencang.
“Ini Rezeky kamu, sudah jangan menangis lagi. Mungkin kabar ini bisa kamu sampaikan kepada orang tua kamu.”
“Iya, mbak. Terima kasih infonya. Saya masih tidak percaya semua ini, seperti mimpi mau berkunjung di Amerika” aku tersenyum.
“Sekali lagi selamat, ya. Informasi akan diberi melalui email, jadi tetap stand by terus email-nya. Permisi dulu, selamat siang Anhar. Wassalamualaikum.”
“Wa..walaikum salam” aku termenung. Tanganku bergetar menekan tombol-tombol angka untuk menelpon abah di rumah.
Lamunan itu terpecah disaat Andrizal memukul bahuku untuk mengantri check in di counter Chatay Airlines. Semuanya masih berkesan sekali kenangan indah tersebut, mendapatkan kesempatan yang luar biasa, karena ratusan aplikasi yang masuk hanya tujuh orang saja yang berkesempatan untuk mengikuti program ini, setidaknya begitulah yang dikatan Bang Heru, staff kedutaan Amerika yang memberikan kami arahan sebelum berangkat ke Amerika.
Study of the U.S Institue for Global Environment Issue Program. Merupakan program yang didanai penuh oleh pemerintah Amerika Serikat tujuannya adalah untuk belajar tentang Negara Amerika dalam manajemen isu lingkungan terhadap semua aspek kehidupan, program ini di koordinasi oleh East West Center di tiga Negara bagian Amerika yaitu, Hawaii, Colorado dan Washington DC selama 5 minggu. Ini adalah pengalaman pertama kali menaiki pesawat sampai 2 kali transit dari Jakarta – Hongkong – Tokyo dan berlabuh di Hawaii.
Hawaii? “Akh,..” aku berdecit sedikit tatkala aku menaiki mini bus menuju apartemen di kompleks universitas Hawaii. siapa yang tidak mengenal pulau ini yang memberikan sejuta eksotisnya untuk para pelancong dari berbagai Negara. Negeri yang memiliki sudut ruang pantai yang indah dimana-mana, memang sudah pantas bahwa Hawaii dijuluki The Rainbow of Island. Aku terkesima untuk sekian kalinya, berdiri di depan pantai Waikiki Beach sambil mendengarkan lagi it’s beautiful day by Michael Buble, lagunya berulang-ulang kali kuputar melalui Walkman. Deburan air laut membujuk kakiku untuk bermesraan dengannya. Kupejamkan mata ini, menikmati indahnya kuasa Tuhan yang telah membentuk bumi-Nya dengan sejuta keindahan, aku sangat bahagia sekali bahkan ungkapan seribu kata tidak bisa aku ucapkan untuk mengisi ruang hatiku.
“EMAAAAAAAAAK, ABANG DI HAWAAAAII…….” Teriakku sekuat-kuatnya, melampiaskan emosional kegembiraan, lagi-lagi aku tidak sadar air mataku menyatu dengan air laut. Siapa yang menyangka aku berdiri disini, menikmati matahari terbenam. Aku rindu emak, lagi apa emak disana? Pasti satu kampung sudah heboh bahwa anak tukang jualan nasi goreng sampai ke Amerika, pasti abah selalu bercerita tentang aku ketika ada pelanggan yang memperbaiki sepeda motor di bengkel depan rumah. Aku tersenyum, mengusap air mata kegembiraan.
Dua minggu lebih di Hawaii bukanlah waktu yang mudah untuk dijalani, culture shock? Itu sudah pasti, aku harus terbiasa makanan pengganti nasi, seperti roti salad dan soup yang dicampuri dengan berbagai jenis rempah-rempah yang tidak aku kenal. Bukan hanya itu, kedisplinan orang Amerika mengajariku banyak hal untuk bertindak seperti dilarang menyebrang sembarangan walaupun tidak diawasi oeh kamera cctv, mengantri panjang tanpa harus mengeluh untuk mengambil makanan di kantin, tidak duduk di tempat duduk priority seat di bus umum dan masuk kuliah tanpa terlambat. Hal-hal yang kecil yang biasa aku langgar saat di Indonesia.
Kami dari Delegasi beberapa Negara ASEAN dan Kepulauan Pasifik belajar penuh di main office East Wes Center (EWC) organisasi yang sudah professional untuk membentuk karakter manusia dengan program-program pertukaran pelajar, magang dan lain sebagainya. Belajar tentang regulasi pemerintah Amerika untuk membangun negaranya dengan konsep lingkungan, kami diberi beberapa kelompok yang sewaktu-waktu kelompok tersebut bisa berubah sesuai dengan tema studi kasus yang kami pelajari. Banyak hal yang bisa aku pelajari dari sana, semuanya membuka wawasan dan ilmu menejemen lingkungan yang bisa aku terapkan di lingkungan kecilku. Begitulah seterusnya, belajar bisa sampai jam Sembilan malam bahkan tidak tidur untuk mendapatkan hasil yang baik untuk dipesentasikan pada dosen-dosen yang ahli dibidangnya.
Walaupun proses belajar mengajar sangat padat, panitia juga memberikan kami edutrip dibeberapa tempat yang sangat bagus sekali untuk di kunjungi seperti Museum Pearl Harbour yang menyimpan sejuta sejarah, Hanauma Bay dengan koral lautnya begitu indah, menikmati matahari tenggelam di Waikiki beach. Pengalaman yang sangat membuat saya berkesan adalah mengunjungi wisata Kualoa Ranch, aku terkejut ternyata disini bukan menjadi wisata alam saja, tetapi menjadi hotspot pembuatan film yang tersohor seperti Jurassic Park Film Lost dan Pearl Harbour yang sering kita tonton di tv. Luar biasa sekali tempatnya, sangat indah. Bentangan savana yang terhampar seperti taman firdaus dikelilingi gunung-gunung yang dibaluti rumput dan lumut basah. Tidak ada pohon sawit seperti tempat tinggal saya. Subhanallah, beginilah Allah menciptakan bumiNya dan beginilah penduduk Amerika merawat kekayaan alamnya.
Program Amerika tidak bakalan lengkap jika tidak berbaur dengan host Family atau keluarga angkat. Aku kaget ketika aku mendapatkan keluarga dari keturunan Yahudi.
“Apa? Yahudi?” benakku berputar terus tidak ingin berbaur dengan mereka. Jelaslah, ini jadi tabuh bagiku. Coordinator host family bercerita banyak tentang keluarga baruku bahwa mereka adalah pecinta Indonesia, mereka telah mengelilingi Indonesia bahkan mereka sudah sampai di kota Pekanbaru. Sumringahku menepis perbedaan keyakinan itu, aku ingin mengetahui apa benar mereka memang cinta Indonesia.
Tepat sekali, nuansa rumah dan semua dekorasi rumah ala Indonesia. Aku merinding sekali ketika mereka bercerita mengirim property rumah seperti angklung, meja ukir dan pintu rumah bermotif Bali dibawa dari Indonesia. Mereka tidak henti-hentinya bercerita tentang Indonesia dan membuka album kenangan ketika mereka masih muda, dibagian foto-foto tersebut mereka menikmati perjalanan di Kalimantan, Bali, Jakarta dan beberapa daerah Sulawesi yang tidak pernah aku kenal sama sekali. Aku juga diajak untuk melihat perayaan sabat day umat Yahudi, orangtua angkatku bangga sekali memperkenalkan aku dengan komunitas Yahudi Hawaii, mereka sangat ramah sekali dengan aku. Seorang Rabi mendatangi aku dan memberikan aku segelas air anggur merah.
“Sorry, I am Moeslim” tolakku halus ketika Rabi menuangkan air anggur yang aku kira adalah sejenis bir.
“Don’t worry, this is alcohol free. We are not drink Alcohol, it is Halal and we don’t eat haram too” senyum Rabi tersebut.
Mereka adalah Yahudi sejati yang tidak memakan makanan haram seperti umat muslim. Hampir semua makanan dimeja adalah buah dan sayur dan hanya beberapa potong daging ayam. Aku banyak belajar dari mereka, perbedaan bukan harus dijauhi tetapi perbedaan itu yang memberikan banyak pelajaran hidup bahwa di dunia ini beragam etnis yang masih peduli dengan etnis lainnya.
Rasanya ingin menangis meninggalkan Hawaii, aku tidak tahu kapan datang kemari. Sejuta pengalaman yang tidak bisa aku lupakan begitu saja di Negara bagian ini.
Inilah saatnya kami terbang ke Negara bagian berikutnya Colorado, Negara yang penuh ruang terbuka dan dikelilingi dengan pegunungan Rocky Mountain. Tinggal di kompleks Universitas Colorado membuat aku seperti mahasiswa seutuhnya, bangunannya begitu indah dan classic kemana-mana hanya diakses berjalan kaki dan memakai bersepeda jarang yang memakai sepeda motor atau mobil. Di sini, pejalan kaki lebih dihormati, pemerintah Colorado membuat jalan khusus bagi pedestrian yang tidak boleh dilintasi oleh sepeda. Colorado mempunyai ambisius menjadi Negara bagian yang sukses dengan konsep go green, ini terbukti dimana mahasiswanya juga bekerja separuh waktu untuk mendaur ulang sampah yang akan dikirim ke Negara-Negara yang telah direkomendasi untuk mengolah sampah. Sekali lagi sampah menjadi pendapatan bagi mereka, hal-hal ini yang kami pelajari di Colorado tentang menejemen sampah, bangunan ramah lingkungan, solar panel dan pertanian organik yang kami jumpai di farmer market.
Kesan selanjutnya yang aku dapatkan adalah mengunjungi satu dari beberapa bagian gunung Rocky Mountain, memang disana lagi musim panas tetapi tidak di top mountainnya, dengan suhu 5 derajat celcius saya cukup puas memegang salju dan bermain ria dengan teman-teman lainnya. Indah sekali pemandangan dari Top Mountain, melihat lekukan pegunungan lainnya yang dibaluti oleh salju tebal dan hamparan hutan pinus. Selama ini, saya hanya menyaksikan Rocky Mountain melalui channel National geography dan sekarang ini nyata di hadapan saya.
Ku akui pindah dari satu kota besar ke kota besar lainnya memanglah terasa letih walaupun transportasi memakai pesawat terbang. Lelahnya itu adalah bongkar dan muat barang-barang harian di koper, semakin banyak tempat yang dikunjungi semakin banyak buku yang diberikan dan tidak mau buku-buku tersebut ditinggalkan. Semuanya adalah ilmu dan sangat berhagra sekali nilainya. Tak jarang koper aku sudah bengkak dan overload bagasi.
Kota terakhir kami kunjungi adalah Washington DC, kota yang sangat glamour dan tertata rapi bangunanya. Para planologi telah menata Washington menjadi ibukota tanpa bosan mengelilinginya. Di Washington, jadwal kami tidaklah sepadat sebelumnya. Disini kami lebih banyak waktu luang untuk berjalan-jalan sebelum kegiatan penutup, aku tidak mau meninggalkan kesempata ini, rasa capek, lelah dan lesu kuabaikan begitu saja. Aku harus lebih semangat untuk mengelilingi kota besar ini. Di Washington DC, untuk berkeliling sangatlah mudah karena disana ada public bicycle yang bisa di rental seharian, aku memulai langkah semangat.
Tujuan pertamaku adalah kediaman Obama yang jaraknya tidak jauh dari penginapan kami. Masya Allah, melihat White House secara dekat membuat mata ini tidak terbendung untuk menitikan air mata untuk sekian dan sekian kalinya. Memandang white house yang tidak jemu-jemu selama dua jam lebih berdiri seperti patung, setiap momen tidak ingin saya lewatkan. Beberapa orang heran melihataku yang tahan berdiri selama dua jam. Biarlah, masa bodoh, kalau polisi menegurku atau mencurigaiku tinggal aku keluarkan selembar surat undangan resmi dari Amerika, saya ini adalah delegasi yang artinya setengah diplomatik. Syukurnya hal-hal seperti itu tidak terjadi selama di sana. Dua jam menikmati white house belum berarti apa-apa bagiku, ingin rasanya lebih lama lagi memeluk pagar white hosue yang menjulang tinggi dan bercerita perjalanan hidupku untuk melihatnya.
Lima minggu dan tiga Negara bagian dikunjungi adalah pengalaman saya untuk saya ceritakan kepada pemuda Indonesia. Saya tidak membanggakan Negara lain dan mengikis rasa nasionalis saya. Bahkan, selama disana saya belajar banyak bagaimana mencintai dan menghargai Bangsa saya. Program diberikan bukan untuk membanggakan Negara pemberi program, tetapi mengajarkan kepada penerima program beginilah cara mereka untuk menghargai Negara dan bangsa itu sendiri. Bisa ditiru dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Itulah gunanya program dan program bukanlah suatu trend yang hanya berjalan di tempat-tempat yang indah. Tujuan program adalah membentuk karakterik bangsa dari pengalaman Negara lain untuk menjadi seorang yang kritis untuk menyikapi masalah-masalah internal dari Negara sendiri, tidak apatis dan tidak arogansi.
Jika bersungguh-sungguh dia yang akan dapat. Janganlah putus asa untuk meraih kesuksesan, pahit dan asamnya kehidupan dalam menjalani sebuah proses adalah kekuatan kita untuk tetap tegar. Mengambil semua pelajaran dari kegagalan dan menjadikan semua keberhasilan sebagai intropeksi diri agar kita tidak puas dengan satu kesuksesan. Allah adalah Tuhan yang mengatur semua perencanaan dan manusia harus berusaha untuk meraih perencanaan tersebut. Saya teringat dengan orang tua angkat saya yang mengatakan
“Tulislah semua keinginan dan sinergikan dengan sang Malaikatmu yaitu Ibu. Tarik hubungan itu antara vertikal dan harizontal, Biarkan jasmanimu berusaha, Biarkan rohanimu beristiqomah dan biarkan sang Khalik yang Bekerja."