Intan Farhana, Bagaimana Pengalaman Meraih Beasiswa Erasmus+ ke Finlandia Menjadi Bekal untuk Kehidupan Saat Ini?
Siapa ingat Intan Farhana?
Perempuan asal Aceh yang pernah mendapatkan beasiswa Erasmus+ untuk mencicipi sistem pendidikan perguruan tinggi di Finlandia itu, kembali berhasil meraih beasiswa untuk kedua kalinya.
Kali ini Intan mendapatkan beasiswa dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Beasiswa tersebut ia gunakan untuk melanjutkan studi ke Victoria University of Wellington di Selandia Baru. Intan mendapatkan beasiswa LPDP tahun 2016 lalu, kurang lebih 5 bulan setelah dirinya berhasil meraih gelar S1 di Universitas Syiah Kuala, Aceh.
Bila kita baru pertama kali melakukan pengajuan untuk mendapatkan beasiswa, bisa saja kita merasa kesulitan. Sebab, mengajukan beasiswa membutuhkan ketelitian dan kedisiplinan, terutama saat menyiapkan dokumen-dokumen dalam rangka memenuhi keperluan administratif. Akan tetapi, hal itu tidak terjadi pada Intan.
Pengalamannya mengajukan beasiswa Erasmus+ waktu ia masih mengenyam pendidikan S1, membuat Intan jauh lebih terlatih.
Bahkan, tidak hanya dalam proses pengajuan saja. Ketika ia sudah sampai di Selandia Baru, negara yang notabene baru bagi Intan, hal-hal menyangkut adaptasi dengan lingkungan sekitar lebih mudah ia lakukan.
Ada pepatah mengatakan, “pengalaman adalah guru terbaik.”
Dengan pengalaman, seseorang akan menjadi lebih matang dalam menghadapi sebuah persoalan. Hal itulah yang kira-kira dialami oleh Intan. Meski hanya enam bulan menjalani kehidupan di Finlandia, tetap saja baginya pengalaman itu sungguh berarti.
Sekilas Tentang Intan Farhana
Intan Farhana berasal dari Aceh. Perempuan kelahiran 22 Mei 1994 itu merupakan alumni Universitas Syiah Kuala, jurusan Akuntansi dan Keuangan. Sejak dulu, Intan memang sudah memiliki mimpi untuk berkuliah di luar negeri. Hingga akhirnya mimpi itu terwujud pada tahun 2014 silam.
Ia berhasil meraih beasiswa Erasmus+ untuk melakukan pertukaran pelajar di University of Turku, Finlandia.
Kurang lebih setahun kemudian, tepatnya pada awal tahun 2016, Intan berangkat ke Finlandia. Itu pertama kalinya ia menginjakkan kaki di sana. Baginya, berada di negeri seribu danau itu merupakan pengalaman mengesankan. Ada banyak pelajaran yang ia dapat ketika menjalani kehidupan di sana, baik dari segi pendidikan, budaya, sosial, juga dari segi personal.
Perempuan yang sempat menjadi penyintas pada peristiwa gempa dan tsunami Aceh 2004 itu, tinggal di Finlandia selama enam bulan.
Selama itu juga ia menempuh pendidikan di University of Turku. Ia mengambil jurusan yang sama dengan pendidikan S1-nya di Universitas Syiah Kuala, Aceh. Beberapa pengalaman tak terlupakan di antaranya ia peroleh ketika mengambil mata kuliah untuk program master, dibimbing oleh profesor yang baik dan menyenangkan, serta tuntutan untuk menjadi pribadi mandiri yang akhirnya membuat Intan belajar memasak.
Singkat cerita, setelah enam bulan menjalani studi di Finlandia, Intan kembali ke Aceh. Lantaran seluruh mata kuliah, beserta skripsinya sudah ia selesaikan terlebih dahulu, saat kembali ke Aceh sebagai mahasiswa Universitas Syiah Kuala, ia tinggal menjalani sidang skripsi dan wisuda. Setelah itu, mimpi untuk melanjutkan studi S2 di luar negeri tetap belum berhenti.
Ada dua negara tujuan Intan untuk melanjutkan S2, yakni Inggris dan
Selandia Baru.
Berbekal pengalaman dan prestasinya, Intan mencoba mengajukan beasiswa untuk melanjutkan kuliah di sana. Hasilnya, ia berhasil meraih beasiswa LPDP untuk melanjutkan studi S2 di Victoria University of Wellington, Selandia Baru pada program Master of Commerce (Accounting). Kesempatan itu tak ingin ia sia-siakan. Pada Februari 2018, Intan kembali meninggalkan tanah kelahirannya demi menggapai cita-cita menjadi seorang dosen.
Saat ini, sudah delapan bulan Intan menjalani kehidupan di Selandia Baru. Walau begitu, pengalaman selama enam bulan menjalani kehidupan perkuliahan di Finlandia, tentu tak bisa begitu saja ia lupakan.
Sebab, tidak dapat dipungkiri, bahwa sedikit banyak yang ia dapatkan hari ini, merupakan buah manis dari keberhasilannya meraih beasiswa Erasmus+ di University of Turku, Finlandia.
Manfaat Pengalaman Intan Saat Proses Persiapan
Apa yang kita lakukan di masa lalu, merupakan bekal bagi kita untuk menghadapi masa kini dan masa yang akan datang.
Maka dari itu, tidak dapat disangkal bahwa pengalaman Intan selama mengajukan beasiswa Erasmus+ beberapa tahun silam, adalah bekal baginya untuk mengajukan kembali beasiswa LPDP yang saat ini telah berhasil ia raih.
Memangnya apa saja manfaat meraih beasiswa Erasmus+ yang berpengaruh terhadap kehidupan Intan saat ini?
Berikut beberapa hal yang barangkali kita bisa jadikan pelajaran.
1. Kesiapan Mental
Sebelum Intan menerima beasiswa Erasmus+ pada tahun 2014, sebenarnya Intan sudah pernah mengajukan beasiswa Erasmus+ juga di tahun 2013. Akan tetapi, saat itu keberuntungan belum berpihak padanya. Ia dinyatakan tidak lolos. Intan tidak menyerah begitu saja. Ia kembali mengajukan beasiswa Erasmus+ di tahun berikutnya. Hasilnya, positif.
Ini berarti jalan Intan meraih kesuksesan tidak selalu berjalan lancar.
Setidaknya, ia pernah gagal mengajukan beasiswa. Hal itu secara tidak langsung memberikan kematangan mental pada dirinya, bekal utama untuk menggapai cita-cita. Intan sendiri pun mengakui hal tersebut. Sebab, belajar dari pengalamannya dua kali mengajukan beasiswa Erasmus+, Intan belajar untuk menerima segala keputusan dan tidak terlarut dalam kegagalan.
Kesiapan mental seperti ini yang kemudian Intan pakai kembali saat mengajukan beasiswa paska lulus dan meraih gelar sarjana.
Saat itu, ia mengajukan diri ke beberapa program beasiswa. Selain LPDP, Intan juga mengajukan Beasiswa Unggulan dari Kemendikbud dan juga New Zealand Asian Scholarship. Namun, ia tidak lolos di beasiswa tersebut. Intan tak terlarut begitu saja dalam kegagalannya dan tetap berusaha untuk meraih beasiswa LPDP. Hasilnya cukup memuaskan, ia berhasil mendapatkannya.
2. Persiapan Apply Beasiswa Jauh Lebih
Matang
Saat apply beasiswa Erasmus+ dulu, Intan merasa cukup kerepotan dengan prosedur yang perlu dilalui. Bukan karena prosedurnya sulit, tapi karena saat itu Intan baru pertama kali mengajukan beasiswa ke luar negeri. Dia belum merencanakannya secara matang terlebih dahulu, sehingga dia harus kejar-kejaran dengan deadline.
Pengalaman dua kali mengajukan beasiswa di Erasmus+ itu membuat Intan belajar banyak. Hingga ketika ia mengajukan beasiswa LPDP, Intan telah menguasai prosedurnya. Ia tidak ‘gagap’ lagi saat menyiapkan dokumen-dokumen administrasi. Ia pun jadi mengerti bagaimana cara membuat esai dan motivation letter yang baik. Dan, bekal itulah yang membawa ia berhasil meraih beasiswa LPDP saat ini.
3. Prestasi dan Nilai Lebih daripada
Kandidat Lain
Jumlah pendaftar beasiswa LPDP jumlahnya tentu tidak sedikit. Apabila saat itu Intan tak memiliki pengalaman dalam melakukan pertukaran pelajar ke Finlandia, belum tentu saat ini ia berhasil meraih beasiswa LPDP untuk melanjutkan S2 di Wellington, Selandia Baru. Apalagi, jalur LPDP yang ia ambil adalah jalur reguler. Dimana prestasi dan pencapaian adalah hal utama untuk diterima di jalur tersebut.
Meski begitu, Intan juga mengingatkan bahwa kemampuan berkomunikasi juga penting.
Sebab, sebanyak apapun pencapaian yang kita dapatkan, ketika hal tersebut tidak bisa dikomunikasikan dengan baik akan jadi percuma.
“Yang penting tetap kemampuan. Kalau kita bisa menjelaskan kemampuan yang kita miliki, bagaimana menggunakan kemampuan tersebut dengan baik, dan komitmen untuk berkontribusi buat Indonesia, itu tidak akan jadi masalah,” ujar Intan.
4. Mendapat Rekomendasi dari Dosen
Universitas di Finlandia
Salah satu syarat apply beasiswa S2 adalah melampirkan surat rekomendasi dari dosen di salah satu perguruan tinggi. Biasanya, para kandidat akan mencari surat rekomendasi dari dosen-dosen di kampus S1-nya. Intan pun demikian. Bedanya, ia mendapat surat rekomendasi dari salah seorang dosen di University of Turku, Finlandia.
Saat masa studinya di Finlandia hampir berakhir, Intan berbincang banyak dengan salah satu dosennya di University of Turku yang berasal dari George Washington University, Amerika Serikat. Intan menceritakan mimpinya untuk melanjutkan studi S2. Profesor yang mengajar pada mata kuliah International Accounting tersebut memberikan dukungan penuh dan bersedia untuk memberikan surat rekomendasi bagi Intan.
Manfaat Pengalaman Intan untuk Kehidupan Perkuliahan
Pengalaman Intan meraih beasiswa Erasmus+ tidak berhenti hanya pada tahap persiapan saja. Manfaat yang cukup berarti juga ia rasakan ketika proses perkuliahan sudah dimulai.
Apa saja manfaat-manfaat yang dimaksud?
Berikut beberapa manfaat dari pengalaman di Finlandia, dalam proses perkuliahan di kampusnya saat ini.
1. Sempat Merasakan Mata Kuliah untuk
Program Master
Sebagaimana sempat disinggung pada bagian sebelumnya, saat melakukan student exchange ke Finlandia, Intan sempat mengambil mata kuliah untuk program master. Hal itu ia lakukan untuk melihat sejauh mana kemampuannya dalam mengikuti mata kuliah yang sebenarnya ditujukan untuk mahasiswa S2 tersebut.
Kesempatan untuk mengambil mata kuliah master di Finlandia, dapat ia jadikan bekal saat menjalani kehidupan perkuliahan S2 yang sesungguhnya. Meski pada kenyataannya, perbedaan sistem pendidikan juga membuat proses kuliah juga berbeda, setidaknya Intan memiliki preferensi lebih mengenai hal tersebut.
2. Terbiasa Beradaptasi pada Banyak Macam
Sistem Pendidikan
Saat Intan mulai mencicipi sistem pendidikan tinggi di Finlandia, dirinya terkejut. Ada banyak perbedaan antara sistem pendidikan di Indonesia dengan di Finlandia. Saat menyadari hal itu, ia akhirnya mulai beradaptasi dengan sistem pendidikan yang ada. Lantas, ketika masuk ke jenjang pendidikan S2 di Selandia Baru, sistem pendidikannya pun berbeda dengan sistem pendidikan di dua negara sebelumnya.
Maka tidak heran apabila akhirnya Intan terbiasa beradaptasi dengan berbagai macam sistem pendidikan.
Misalnya saat di Finlandia, ia harus meningkatkan inisiatifnya untuk belajar secara mandiri, karena sistem pendidikan di Finlandia memiliki banyak model pembelajaran dan beberapa di antaranya membuat mahasiswa jarang bertatap muka dengan dosen. Beberapa model pembelajaran yang dimaksud adalah lectures, intensive course, self-study, reading circles, dan online course.
Sementara saat tiba di Selandia Baru, sistem pendidikan di kampus juga berbeda dengan yang ada di Finlandia. Bila di Finlandia satu mata kuliah hanya berlangsung selama 90 menit, di Selandia Baru sata mata kuliah bisa berlangsung selama 3 jam dengan jumlah SKS yang sama. Sesuatu yang jelas berbeda dan sulit untuk dilakukan oleh seseorang yang belum pernah beradptasi dengan perbedaan sistem pendidikan.
Manfaat Tinggal di Finlandia untuk Keseharian Intan di Negara Lain
Pengalaman tinggal di Finlandia pun ternyata memberikan manfaat bagi Intan dalam menjalani kehidupannya sehari-hari, di negara yang kini ia tinggali. Terutama saat ia pertama kali tiba di negara tersebut. Baik dari segi budaya, sosial, maupun secara personal.
Berikut adalah manfaat-manfaat yang dimaksud.
1. Siap Menghadapi Perbedaan Budaya
Tentu ini adalah salah satu manfaat yang didapat Intan, setelah merasakan kehidupan di Finlandia. Ia sudah ditempa dengan perbedaan budaya, bahkan saat dirinya pertama kali menjalani kehidupan di Finlandia sebagai mahasiswa pertukaran pelajar.
Mencari tempat ibadah, menghadapi orang-orang asing yang jarang senyum, sampai harus menghadapi kebiasaan meminum alkohol di sana, merupakan pengalaman-pengalaman tak terlupakan baginya. Akan tetapi, berkat itu juga ia belajar untuk berpikiran terbuka. “Jadi begitulah. Saat sampai di sana kita harus belajar untuk deal dengan orang yang punya prinsip yang jauh berbeda dari kita,” jelasnya.
2. Membuka Wawasan Tentang Budaya di
Negara-Negara Eropa
Selain terbiasa menghadapi perbedaan budaya, kesempatan untuk kuliah di Finlandia juga membuka wawasan dan pengetahuan Intan terhadap budaya di sana. Hal ini sangat sesuai dengan tujuan Erasmus dalam memberikan beasiswa kepada pelajar-pelajar terpilih. Tidak sebatas untuk meningkatkan derajat dan gelar pendidikan saja, melainkan juga memberi kesempatan pada mereka untuk mengenal lebih dekat dengan budaya dari negara lain, khususnya di Eropa.
“Dari segi budaya, dari segi alam, kita bisa tahu yang bagus-bagusnya apa. Pokoknya banyak hal yang bisa kita pelajari. Jadi, tidak cuma kuliah saja,” tegas Intan.
Kisah Intan Mengatasi Post Study Abroad Syndrome
Ada sebuah cerita menarik ketika kita menyelami kembali pengalaman Intan sejak pertama kali ia tinggal di luar negeri untuk menempuh pendidikan. Sebagai pelajar Indonesia yang beberapa kali tinggal di luar negeri, tentu tak mengherankan apabila Intan pernah mengalami gejala Post Study Abroad Syndrome. Sindrom ini kerap menjangkit orang-orang yang kembali ke rumah/kampung halamannya, setelah lama tinggal di daerah lain untuk waktu yang cukup lama.
Salah satu gejala yang paling kentara adalah ketika dirinya terus membanding-bandingkan sebuah keadaan di kampung halamannya dengan keadaan di Finlandia, negara yang pernah ia tinggali selama satu semester.
“Dulu awal-awal pernah, waktu ada orang gak ngantre,” kata Intan. Lebih lanjut, Intan beranggapan bahwa selama di Finlandia ia merasa budaya antre cukup dijunjung tinggi. Sehingga, saat kembali ke kampung halamannya, kebiasaan orang untuk tidak antre membuat dirinya merasa cukup shock.
Kejadian seperti ini pun sebenarnya tak hanya dialami oleh Intan. Beberapa pelajar Indonesia yang sempat kuliah di luar negeri juga kerap mengalaminya ketika mereka kembali ke Indonesia. Awalnya tak kepanasan, malah jadi mengeluh panas. Awalnya tertib, mengeluh tak tertib. Serta hal-hal lain, yang sebenarnya tak perlu dikomplain.
“Kita tidak bisa langsung mengubah itu. Kita cuma bisa memberi contoh yang baik dan jangan banyak complain,” tanggap Intan.
Menurutnya, setiap negara punya karakter dan budaya sendiri-sendiri. Tidak seharusnya kita membanding-bandingkan hal tersebut. Meski begitu, apabila memang perlu ada sesuatu yang diubah, mencontohkannya jauh lebih baik daripada terus mengeluh.
Selain itu, juga sebagai saran agar tak mengalami post study abroad syndrome, Intan berpendapat bahwa pondasi awal perlu dibangun sejak awal. Pondasi yang dimaksud adalah nilai-nilai, serta culture di kampung halaman. Dengan begitu, saat kembali ke Indonesia, kita tidak shock dengan perbedaan-perbedaan yang ada.
Pesan Intan bagi Pelajar Indonesia yang Ingin Lanjut Kuliah ke Luar
Negeri
Selain berbagi pengalaman, Intan juga memiliki beberapa pesan bagi para pelajar yang ingin melanjutkan kuliah ke luar negeri, khususnya Eropa.
Pesan-pesan yang dimaksud tentunya tidak terlepas dari pengalaman Intan menjalani kuliah di sana. Adapun pesan-pesan Intan adalah sebagai berikut:
1.
Pantang
Menyerah
Bila kita kembali merujuk pada perjalanan Intan hingga ia bisa mencapai kesuksesan pada titik ini, “pantang menyerah” adalah sifat yang cocok disematkan kepadanya. Ia sempat diremehkan, sempat pula gagal, namun semangatnya untuk menggapai mimpi tak begitu saja surut. Ia tetap mencoba dan mencoba, hingga akhirnya saat ini ia dapat merasakan manfaatnya.
2.
Begitu
pun yang Intan katakan. Ia mengatakan sejatinya kita harus terus mencoba.
Karena tanpa mencoba, probability kita untuk mencapai yang kita inginkan tidak hanya berkurang, melainkan tidak ada. Apabila usaha tersebut berujung pada kegagalan, jangan menyerah. Coba lagi dan coba lagi. “Tidak lulus yang A coba yang B. Tidak lulus lagi, coba lagi yang C. Kalau tidak lulus ya makanya perlu perbaiki lagi,” tegasnya.
3.
Perkuat
Personal/Family Value
Adapun hal lain yang menurut Intan perlu diperkuat adalah personal dan family value. Tidak dapat dipungkiri, saat pertama kali tiba ke luar negeri dan memutuskan tinggal di sana untuk sementara, hal yang paling kentara adalah bagaimana perbedaan budayanya, sekaligus values yang juga dipegang oleh masyarakatnya.
Lantas kemudian, apabila kita tiba di sana tanpa memiliki nilai-nilai yang kuat sejak awal, maka risiko untuk terbawa arus menjadi semakin besar. “Kalau aku kan sejak kecil udah ditanamkan nilai-nilai agama. Itu jadi modal waktu aku ke luar negeri. Kalau tidak punya prinsip yang kuat banget, kadang-kadang kita kesulitan buat menghadapi budaya dan nilai-nilai dari luar. Karena kan beda sekali,” jelas Intan.
Intan pun mengaku beberapa kali menemukan pengalaman-pengalaman tersebut. Ketika ia mengalami kesulitan untuk menjadi tempat ibadah, menghadapi culture orang-orang disana yang suka minum alkohol, dan kejadian-kejadian lainnya.
Menurutnya, apabila sejak awal ia tidak memiliki prinsip dan identitas keagamaan yang kuat, ia tentu akan mengalami kesulitan untuk tinggal di sana.
4.
Jangan
Cuma Kuliah
Terakhir, pesan Intan, jangan cuma kuliah. Jangan cuma menyelesaikan tanggung jawab akademik saja. Nilai bagus, SKS tercukupi, kemudian sudah. Kesempatan untuk kuliah di luar negeri itu bisa jadi hanya datang satu kali. Manfaatkan untuk mempelajari hal-hal lain selain urusan kuliah, seperti mempelajari budaya, menikmati alam dan juga belajar untuk berkenalan dengan orang-orang di sana.
Ada banyak hal yang bisa kita dapatkan dengan menikmati keberadaan kita di sana. Bahkan, apabila ada waktu untuk berkunjung ke negara lain, ada baiknya dipergunakan, asalkan tetap memprioritaskan kuliah. Hal ini juga penting untuk memberikan waktu istirahat kepada tubuh dan pikiran sehingga kesehatan mental juga tetap terjaga. Banyak hal lain yang bisa kita pelajari dan itu tidak hanya di dalam kampus saja, yang penting mengerti skala prioritas” pungkasnya.
Nah, begitulah cerita tentang bagaimana pengalaman Intan mendapatkan beasiswa Erasmus+ ke Finlandia, memberi dampak positif bagi kehidupan dia di masa kini dan yang akan datang. Oleh karena itulah mengapa kesempatan untuk kuliah di Eropa seyogyanya bisa kita gunakan semaksimal mungkin. Baik itu dalam bentuk pertukaran pelajar, maupun pendidikan penuh. Karena dengan kuliah di Eropa, banyak bekal yang bisa kita bawa untuk melanjutkan kehidupan di level selanjutnya.
Ingin meraih mimpi seperti Intan? Yuk belajar bahasa Inggris dari sekarang.