Muhammad Iksan Kiat atau Iksan adalah sebuah nama biasa yang diberikan orang tua kepada saya. Saya tidak tahu apa maksud atau apa artinya secara harfiah. Namun saya hanya percaya bahwa nama merupakan sebuah doa yang terbaik dari orang tua. Dan memang benar, nama saya berulang kali tertulis dalam lembaran kertas bercap dan kadang terpampang di papan pengumuman. Fenomena inilah yang membuat saya tetap optimis dan tetap percaya bahwa “everything is possible”.
Sedikit bernostalgia, saya adalah anak biasa yang besar di sebuah dusun sederhana, di pulau Buru, Provinsi Maluku. Saya adalah anak sulung dari 6 bersaudara yang hidup dengan keadaan ekonomi rendah. Ayah saya telah bangkrut dari pekerjaannya dan Ibu saya hanyalah seorang pedagang asongan. Sungguh saat itu, saya tidak yakin bisa bersekolah sampai selesai, apalagai kuliah. Dan cita-cita saya hanyalah sebatas PNS di kabupaten Buru saja. Namun, entah kenapa saya sangat gemar meyakinkan dan terus memotivasi diri agar dapat menimba ilmu layaknya anak pejabat.
Setelah alhamdulillah lulus SMP dengan peringkat 2 umum, saya terseleksi masuk SMAN Unggulan Siwalima Ambon (Boarding School). Disana mulai dari seragam, makan dan buku semua ditanggung oleh Pemerintah Provinsi Maluku. Di Siwalima saya cukup aktif ikut kegiatan apapun. Memang saya orangnya suka sekali dengan kompetisi. Setelah menjalani UAN, saya bingung kemana harus melanjutkan studi. Karena sekali lagi kendala finansial. Namun, selain oportunis saya juga anak yang berani mengambil resiko dan keras kepala, saya coba semua tawaran yang ada di SMA, mulai dari seleksi STIS, AKAMIGAS, SNMPTN (UI dan UGM), AKPOL, Beasiswa Jerman dan Beasiswa Rusia. Dan sekali lagi karena kuasa Tuhan, saya akhirnya lulus seleksi bidik misi dan masuk Hubungan Internasional Universitas Indonesia sebagai orang Maluku pertama sejak 27 tahun lamanya prodi tersebut berdiri. Setelah beberapa bulan berkuliah, saya sadar bahwa walaupun GPA bagus, tapi passion tetap cenderung kepada ilmu eksakta seperti Matematika, Fisika dan Kimia. Oleh karena itu, saya putuskan untuk mengikuti sekali lagi Beasiswa Rusia dan mengambil jurusan Oil and Gas Engineering dengan catatan bahwa saya akan tetap melanjutkan studi di HI UI, jika ditolak lagi oleh Pemerintah Federasi Rusia. Banyak orang bertanya, kenapa saya tidak mendaftar ke ITB? Karena menurut saya kemungkinan untuk diterima tidak begitu besar dibandingkan dengan Beasiswa Rusia yang hanya mengadakan seleksi berkas dan wawancara.
Dari sinilah the new chapter dari perjuangan saya dimulai. Pada libur semester pertama, saya langsung terbang dari Jakarta ke Ambon untuk mengurus semua berkas-berkas yang diperlukan dan mengirimkannya ke Pusat Kebudayaan Rusia (PKR) di Jakarta. Saat itu, Beasiswa Rusia dibuka dari bulan Desember sampai bulan Februari. Saya juga mencoba beasiswa ke Jerman, tapi karena diharuskan untuk membuat deposit minimal senilai 90 juta rupiah, maka saya yang setiap bulannya mengeluarkan 1 juta rupiah untuk hidup di depok ini harus mengurungkan niat. Saya tidak tahu bagaimana memperoleh uang sebanyak itu.
Selanjutnya, semasa kuliah semester dua di UI, saya terus terbayang galau akan Beasiswa Rusia ini dan berdoa agar Tuhan menentukan jalan terbaik. Saya menunggu pengumuman seleksi berkas sembari mempersiapkan mental, menabung untuk biaya keberangkatan dan belajar Bahasa Inggris. Setelah mendengar kelulusan seleksi berkas pada bulan Mei, saya diwawancarai langsung oleh Direktur PKR pada tahap seleksi selanjutnya. Saat wawancara, saya berusaha meyakinkan Pak Direktur bahwa saya layak dan siap berkuliah di Rusia dan menghadapi segala bentuk tantangan yang disampaikan oleh Beliau seperti, suhu ekstrim hingga -40C; budaya Rusia yang bebas dan keras; biaya hidup yang cukup besar ($300 tetera pada lembar kertas persyaratan); pelajaran dan buku-buku dalam Bahasa Rusia; makanan yang hambar dan tak bervariasi; birokrasi yang kaku, keras dan ruwet; kerinduan akan Indonesia dsb. Untuk lebih meyakinkan Beliau, saya mengatakan bahwa keluarga dan kabupaten saya mendukung penuh secara moril dan material, jika saya diterima. Padahal, pernyataan tersebut adalah tanpa konfirmasi terlebih dahulu. Namun, apa boleh buat, saya tidak mau perjuangan saya sia-sia di tengah jalan dan saya harus lulus seleksi wawancara. Setelah menunggu dan terus berdoa sebulan lamanya, akhirnya, nama saya tertera pada lembar kelulusan Beasiswa Rusia.
Kemudian, datanglah masa dimana saya harus menunggu penempatan kampus dan jadwal keberangkatan. Pada bulan Juli saya putuskan untuk pergi belajar di kampung inggris, Pare, kota Kediri selama satu bulan penuh. Sejujurnya, kemampuan Bahasa Inggris saya saat itu sangat hancur. Bisa dikatakan bahwa saya tidak bisa menulis sebuah cerita ataupun bercakap-cakap sehari-hari in english. Tapi saya tetap yakin, bahwa jika belajar serius, saya pasti bisa menguasainya. Karena menurut saya, untuk berada di luar negeri, setidaknya saya perlu berbicara Bahasa inggris agar bisa bertanya dan tidak sesat di jalan.
Saat itu, saya tidak berpikir bahwa Bahasa Rusia lah yang akan menjadi kendala utama dalam proses studi saya nantinya. Kebanyakan dari teman-teman yang telah mendengar hasil kelulusan mulai mengikuti kursus Bahasa Rusia yang diorganisir oleh PKR. Sedangkan, saya hanya optimis bahwa sesampai di Rusia, saya akan belajar Bahasa tersebut sampai titik darah penghabisan dan menguasainya dalam kurung waktu kurang lebih 6 bulan. Entah keyakinan yang besar itu dari mana datangnya. Selain itu, teman-teman saya juga sudah mulai mempersiapkan diri mereka, memperluas network dan berkenalan dengan para alumni Rusia, membeli baju-baju hangat yang cukup mahal harganya, dan bahkan ada yang sudah membeli tiket keberangkatan. Mereka semua dibantu oleh keluarga mereka. Dalam hati saya, tidak ada kata minder, saya tidak peduli dengan sikap manja mereka dan saya percaya, saya sendiri bisa mengatasi semuanya sebelum berangkat. Nasib saya ada sepenuhnya di tangan saya, bukan di tangan orang lain, sekalipun itu orang tua sendiri.
Pada bulan Agustus, saya kembali ke Ambon dan mengajukan proposal bantuan biaya hidup ke Pemerintahan kota maupun provinsi. Saya mencoba menggunakan segala cara untuk mendapatkan bantuan tersebut agar bisa berangkat ke Rusia dan bisa hidup sehari-hari. Namun, ternyata proposal saya tidak tembus satupun. Saat itu saya hampir putus asa dengan keadaan yang cukup berantakan. Saya depresi beberapa hari dan berpikir mungkin memang benar, hanya orang berduit sajalah yang bisa berkuliah di luar negeri. Namun, seperti yang selalu dikatakan di film negeri lima menara “Man jadda wa jadda”, saya bangkit lagi dari tempat tidur, membuat daftar orang-orang penting, menyusun strategi komunikasi dan kembali mencoba meminta bantuan secara personal ke tokoh-tokoh politik di kota Ambon. Tanpa malu-malu, saya kejar dan datang ke rumah mereka semua. Saya sempat debat dengan berbagai macam orang karena anggapan teguh saya akan kewajiban pejabat Maluku untuk memberikan bantuan kepada putra daerah yang tidak mampu ternyata bertentangan dengan pandangan kolot mereka. Mereka berpikir bahwa saya terlalu memaksakan keadaan dan meminta saya untuk melanjutkan studi di Indonesia saja ataupun kembali berkuliah di Ambon. Setelah beraudiensi dengan berbagai macam orang, akhirnya ada satu tokoh yang terbuka hatinya untuk membantu secara finansial. Sungguh, usaha memang tidak pernah menghianati hasil. Coba kalau saat itu saya tidak bangun dari tempat tidur dan mengetuk pintu rumah Bapak tersebut, mungkin saya tidak akan berada di Rusia saat ini.
Reporter: Imam Sultan Assidiq
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar