Rabu, 30 Agustus 2023

Perjuangan Miftakul Munir, Pemenang LPDP Awards 2023 Bidang Riset dan Paten



Perjuangan Miftakul Munir, pemenang LPDP Awards 2023 bidang riset dan paten ini cukup panjang. Bersama timnya di BRIN, Munir membuat metode semi otomatis pembuat kapsul yang mengandung radioisotop iodium-131 (I-131) untuk obat kanker tiroid dan hipertiroid. Apa itu?
"Obat kanker tiroid dan penyakit hipertiroid di dunia ini sudah banyak menggunakan radioisotop I-131 dengan dua jenis sediaan," demikian jelas Munir
Dua jenis obat itu ada yang jenisnya larutan yang diminum biasa, kemudian juga ada jenis kapsul.

"Yang kapsul rasanya lebih enak karena tidak terasa pahit," imbuh Munir.

Dilansir dari laman NHS UK, Iodine-131 (juga dikenal sebagai I-131 atau radio-iodine) adalah bentuk radioaktif dari yodium yang biasa terkandung dalam makanan. I-131 digunakan untuk mengobati kelenjar tiroid pada pasien dengan kelenjar tiroid yang terlalu aktif atau kanker tiroid. Caranya diberikan sebagai kapsul kecil yang diminum dengan air.

Dasar cara kerja obat I-131 ini seperti ini, kelenjar tiroid mengkonsentrasikan yodium dari darah dan menyimpannya di sana sampai digunakan oleh kelenjar untuk membuat hormon tiroid.

 Jika kapsul I-131 diberikan, radiasi yang dipancarkan yodium akan menghancurkan sel-sel di sekitarnya. Obat ini sering digunakan untuk menghancurkan sisa jaringan tiroid atau endapan mikroskopis kanker tiroid setelah operasi kelenjar tiroid. I-131 juga dapat digunakan untuk mengobati kanker tiroid yang telah kembali.

Selama ini, obat kapsul I-131 untuk kanker tiroid dan penyakit hipotiroid diimpor dari luar negeri. Belum ada produksi obat kapsul I-131 di dalam negeri. Hal ini karena belum ada metode pembuatan otomatis kapsul I-131 yang aman. Bila kapsul itu dibuat secara manual, risiko kontaminasi radioaktif sangat tinggi sehingga membahayakan bagi pembuat/produsen kapsul.

Untuk pembuatan obat radioisotop ini ada 2 potensi bahaya. Pertama bahaya kontaminasi, bila terciprat ke baju atau ke badan, harus dicuci bersih. Bahaya kedua adalah radiasi, di mana radiasinya akan memancarkan energi yang bisa merusak sel.

Maka, Munir bersama timnya di Pusat Riset Teknologi Radioisotop Radiofarmaka dan Biodosimetri, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengembangkan metode semi otomatis untuk membuat kapsul I-131 itu sejak tahun 2022, sedangkan formulanya telah dikembangkan tahun 2017 lalu.

"Metode ini meningkatkan aspek keamanan, keselamatan, diharapkan memenuhi persyaratan Badan POM. Ini metodenya seperti fasilitas minisel, boks tapi gede, dan pakai tangan robot. Kita mengendalikan kerjaan di dalam sel pakai tangan robot dari luar. Dengan demikian aman karena di dalam bahan minisel, pekerjanya tidak akan terpapar radiasi. Kebersihan bisa diatur," jelas dia.

Idealnya pembuatan obat ini, menurut Munir, menggunakan sistem otomatis penuh, namun sampai sekarang baru metode semi otomatis yang bisa diriset dan dikembangkan. Tantangannya juga masih banyak.

"Sampai saat ini masih terus berkembang, learning by doing. Tantangannya, kapsul kan kecil ya, kalau pakai tangan robot bisa hancur. Nah ini perlu sistem vakum untuk memindahkan, menutup dan membuka kapsulnya," jelas dia.

Diakuinya, jalan untuk mendapatkan sertifikasi aman Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) untuk alat pembuatan obat I-131 ini masih panjang. Bila sudah mendapatkan sertifikasi BPOM, pihak BRIN harus menggandeng dunia usaha untuk mengembangkan produksi obat ini.

Pria alumni Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) ini menjadi penanggung jawab dalam riset ini, namun dia menegaskan ini bukan kerja dirinya seorang melainkan kerja tim. Hanya saja, karena dia adalah alumni dari LPDP sehingga memutuskan untuk ikut berkompetisi dalam LPDP Awards yang digelar pada Juli 2023 lalu.

"Saya pertama menominasikan diri saya sendiri untuk daftar, ada sekitar 7 kategori. Dari tiap kategori ada 3 finalis, dari 3 finalis ini diminta video soal deskripsi penelitian yang di-submit di Mata Garuda Network, platform resmi untuk para alumni LPDP. Dari situ, di-voting atau dipilih oleh para alumni LPDP yang terdaftar di situ, kemudian divoting lagi sama juri LPDP," jelas dia.

2 Tahunan Selesaikan S2 Riset dengan Beasiswa LPDP Saat Awal COVID
Munir menceritakan awal dirinya menerima beasiswa S2, sudah menjadi peneliti di Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) yang kini menjadi BRIN. Dia pun melamar ke berbagai universitas dengan fokus riset farmasi terutama aplikasi radioisotop untuk kesehatan atau seputar nanomedicine. Proposal risetnya diterima oleh profesor farmasi di Queen's University Belfast, Irlandia Utara.

"Ada beberapa alasan, saya ingin meningkatkan bahasa Inggris saya yang sangat kurang. Kedua, kebetulan tertarik dengan tema penelitian nanomedicine, kemudian tertarik dengan profesornya. Profesornya punya perusahaan. Di Inggris banyak profesor yang punya start up, seperti profesor yang menciptakan vaksin covid Astra Zeneca. Para profesor itu punya startup yang dibawahi kampus dan di-support kampus," paparnya menjelaskan mengapa dia memilih kampus tujuan S2-nya.

Memulai kuliah pada 2019, sempat terhalang force majeur karena pandemi COVID pada awal 2020. Munir yang ke Irlandia Utara seorang diri, meninggalkan anak-istri di Indonesia, sempat kena lockdown.

"Dua-tiga bulan saat awal COVID, benar-benar nggak ada kegiatan sama sekali. S2 saya kan tanpa kuliah, full riset. Kampus tutup, lab tutup, yang buka hanya toko-toko esensial bahan makanan atau obat-obatan. Selama 3 bulan saya nggak bisa kerjakan riset sama sekali. Akhirnya profesor saya minta review paper untuk dijadikan tulisan ilmiah yang akan bisa dipublikasi. Akhirnya selama 3 bulan itu, Alhamdulillah dapat 1 paper," jelasnya.

Setelah 3 bulan pandemi COVID, kampusnya perlahan mulai membuka fasilitas riset. Meski harus dites COVID tiap minggu-gratis dan difasilitasi kampus- sebelum masuk ke fasilitas riset.

Gara-gara pandemi pula, target S2-nya yang seharusnya 2 tahun jadi molor 2 tahun 4 bulan. Pihak LPDP pun menoleransi kondisi force majeur itu dengan memberikan perpanjangan 1 semester. Usai menyelesaikan S2-nya dan pulang kembali ke Indonesia pada awal 2022 lalu, Munir kembali melanjutkan penelitian ini dan berkiprah di BRIN.

"Mungkin salah satu tolok ukur kemajuan satu bangsa bangsa itu cinta ilmu pengetahuan dan inovasi, tuntutlah ilmu sebanyak mungkin, sebisa mungkin diaplikasikan di manapun, di instansi tempat bekerja, di masyarakat sehingga bisa menjadi kontributor dalam kemajuan bangsa kita," demikian pesan Munir yang punya keinginan meneruskan pendidikan ke jenjang S3 di luar negeri ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar